KONTRADIKSI.ID, Pohuwato – Pernyataan Kapolres Pohuwato AKBP Busroni yang membantah tuduhan intimidasi terhadap SA, seorang perempuan hamil yang hendak membesuk suaminya di sel tahanan Mapolres, memunculkan kontradiksi yang tak bisa diabaikan. Di satu sisi, Kapolres mengeklaim tindakannya hanyalah bentuk penegakan disiplin terhadap anggotanya. Namun, kesaksian SA menyiratkan adanya perlakuan represif dan tidak manusiawi yang berdampak langsung pada kesehatan ibu dan janin dalam kandungannya.
SA mengaku diperiksa hingga dini hari tanpa pendamping hukum, dan meski telah mengeluh sakit perut akibat kehamilan, ia tetap tidak diizinkan pulang sebelum mengalami pendarahan hebat dalam perjalanan pulang. Fakta ini tidak sejalan dengan pernyataan Kapolres yang menyebut bahwa SA hanya “dimintai keterangan” dan bukan ditahan.
Ironisnya, dalih bahwa SA memaksa masuk ke area tahanan juga bertentangan dengan pengakuan SA sendiri yang menyebut telah mendapat izin langsung dari petugas piket. Jika benar ada pelanggaran prosedur, seharusnya tanggung jawab administratif dibebankan kepada petugas jaga, bukan kepada warga sipil yang sekadar mengikuti arahan.
Ketiadaan pendamping hukum saat proses pemeriksaan serta lamanya waktu pemeriksaan terhadap seorang perempuan hamil adalah bentuk dugaan pelanggaran hak asasi manusia. Pihak kepolisian seharusnya menjunjung asas proporsionalitas dan kemanusiaan dalam menjalankan prosedur, bukan justru menimbulkan trauma fisik dan psikologis.
Pernyataan Sikap: LSM LABRAK Desak Investigasi Independen
Pendiri LSM LABRAK (Lembaga Aksi Bela Rakyat), Sony Samoe, menyatakan keprihatinannya yang mendalam atas peristiwa yang menimpa SA.
“Perlakuan terhadap ibu SA mencerminkan buruknya sensitivitas aparat terhadap kelompok rentan, khususnya perempuan hamil. Ini bukan hanya persoalan etika, tapi juga persoalan hukum dan HAM,” tegas Sony Samoe dalam keterangan persnya, Rabu (30/7/2025).
Sony meminta agar Kapolda Gorontalo segera membentuk tim investigasi independen yang melibatkan Komnas Perempuan dan lembaga pengawas eksternal.
“Kami mendesak dilakukan audit etik terhadap AKBP Busroni dan seluruh prosedur yang diterapkan di ruang tahanan Mapolres Pohuwato. Kalau benar SA mengalami pendarahan usai diperiksa, maka ini bukan sekadar pelanggaran administrasi. Ini bisa masuk dalam ranah pelanggaran pidana karena menyebabkan seseorang kehilangan hak atas kesehatannya,” sambungnya.
LABRAK juga meminta pendampingan hukum segera bagi SA dan membuka jalur komunikasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
“Kami tidak ingin kasus ini ditutup-tutupi dengan narasi sepihak dari institusi. Aparat penegak hukum tidak boleh merasa kebal hanya karena berseragam. Setiap warga negara berhak mendapat perlindungan hukum, terutama ketika berada dalam situasi yang tidak berdaya,” tutup Sony.
LABRAK menyatakan akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas dan membuka kemungkinan untuk melakukan langkah hukum bersama koalisi masyarakat sipil. Red