KONTRADIKSI.ID Pohuwato – Ruas jalan menuju timbangan Marisa kembali memanas. Sebuah ekskavator jenis JCB yang disebut milik penambang rakyat diangkut oleh kendaraan operasional perusahaan yang diduga milik PT. PGP dari wilayah Gunung Pani. Bukan sekadar pengangkutan biasa—konvoi ini dikawal ketat petugas bersenjata laras panjang, Sabtu (09/08) sekitar pukul 15.30 WITA, seolah berhadapan dengan musuh negara, padahal yang dihadapi adalah rakyat yang menggantungkan hidup dari emas di tanah kelahiran mereka sendiri.
Pendiri Lembaga Aksi Bela Rakyat (LSM Labrak), Soni Samoe, tidak tinggal diam. Ia menghadang langsung konvoi tersebut di jalan, memprotes keras langkah perusahaan yang dinilainya mengedepankan ego korporasi di atas martabat warga lokal.
“Seharusnya pihak perusahaan mempertimbangkan langkah mereka sebelum melapor dan membawa salah satu alat berat milik penambang rakyat Pohuwato. Kami merasa terhina di tanah kelahiran kami sendiri dengan sikap arogansi perusahaan,” tegas Soni.
Soni juga menyoroti ketidakadilan perlakuan perusahaan dan aparat dalam menangani persoalan tambang di Pohuwato.
“Dulu, dengan alat berat yang mau masuk bersama konsentrasi massa dari luar Pohuwato dengan senjata tajam, saat itu tak ada tindakan dari aparat maupun perusahaan. Tapi kenapa justru alat berat penambang lokal yang mau turun ke kampung karena mau berhenti menambang, malah dihadang oleh perusahaan dan dilaporkan ke Polres,” ujarnya geram.
Perusahaan berdalih bertindak berdasarkan izin resmi (IUP) yang mengatur wilayah konsesi mereka di Gunung Pani. Memang, UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba memberi hak bagi pemegang IUP untuk melindungi wilayahnya dari aktivitas yang dianggap ilegal. Pasal 135 hingga Pasal 158 menjadi perisai hukum bagi korporasi.
Namun rakyat penambang bukan tanpa dasar moral dan sosial. Mereka telah menambang di Gunung Pani jauh sebelum izin korporasi diterbitkan. Mereka bukan sekadar pelaku ekonomi, melainkan bagian dari sejarah hidup daerah ini. Pasal 96C UU Minerba bahkan mengamanatkan bahwa pemegang IUP wajib mengedepankan penyelesaian persuasif, melibatkan pemerintah daerah, dan menghormati hak-hak masyarakat terdampak.
Jika amanat ini diabaikan, legalitas menjadi tumpul di mata rakyat. Sebab hukum seharusnya hadir untuk melindungi, bukan mengintimidasi.
Pengangkutan JCB dengan pengawalan senjata laras panjang memberi pesan visual yang kuat—dan sayangnya, lebih terasa sebagai intimidasi daripada perlindungan hukum. Di mata rakyat, langkah ini menunjukkan bahwa perusahaan lebih memilih memamerkan kekuatan daripada merangkul dialog.
Di wilayah dengan potensi konflik horizontal seperti Pohuwato, pendekatan semacam ini adalah bara yang bisa dengan cepat membakar.
Kasus JCB ini adalah potret telanjang dari ketidakadilan struktural di sektor tambang: korporasi bersandar pada pasal-pasal hukum yang kaku, sementara rakyat bertahan dengan hak hidup yang tak tertulis.
Jika negara dan aparat hanya berdiri di belakang korporasi, siapa yang berdiri di belakang rakyat? Jika pendekatan represif terus dijalankan, maka alat berat yang melintas di jalanan Pohuwato bukan lagi sekadar memindahkan tanah—tetapi memindahkan kesabaran rakyat menuju titik ledak.
Gunung Pani bukan sekadar wilayah konsesi di atas peta, ia adalah urat nadi ekonomi rakyat Pohuwato. Mengabaikan suara mereka sama saja menutup pintu damai dan membuka pintu konflik yang lebih luas.
TimRedaksi