KONTRADIKSI.ID, Pohuwato — Ketegangan publik kembali memuncak terkait tragedi meninggalnya seorang penambang tradisional di kawasan Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) Potabo, Desa Hulawa, Kecamatan Buntulia — wilayah yang secara hukum masuk dalam zona Cagar Alam. Kecaman keras dilontarkan oleh Ketua Ormas SPAN (Serikat Petani dan Nelayan) Pohuwato, Usman Nggilu, yang menyebut bahwa hingga saat ini belum ada kejelasan tindak lanjut dari pihak Polres Pohuwato pasca kejadian tragis tersebut.
Dalam keterangannya kepada media, Usman menyoroti lambannya respons penegakan hukum terhadap kejadian yang menewaskan Nani Atune alias Ka Nani (53), seorang penambang lokal yang tewas akibat tertimpa batu besar pada Sabtu, 5 Juli 2025. Insiden tersebut diduga kuat disebabkan oleh aktivitas alat berat di lokasi PETI yang dikelola oleh Zainudin Umuri.
Lebih dari sekadar kecelakaan kerja, Usman menegaskan bahwa tragedi ini adalah hasil langsung dari pembiaran aktivitas tambang ilegal di kawasan konservasi — pelanggaran berat terhadap Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
“Berdasarkan pemberitaan resmi dari tribratanews.gorontalo.polri.go.id yang menyebut bahwa Polres Pohuwato akan melakukan investigasi dan mengirimkan surat panggilan kepada Zainudin Umuri, kami anggap itu sebagai pijakan resmi. Namun yang menjadi pertanyaan besar: sampai hari ini, sudah lewat hampir satu bulan, tidak ada satu pun kejelasan dari pihak kepolisian,” tegas Usman, Selasa (5/8/2025).
SPAN pun secara terbuka mendesak Polres Pohuwato untuk tidak diam dan segera menindak tegas pelaku tambang ilegal, terlebih lagi lokasi tersebut berada di dalam Cagar Alam Potabo — kawasan yang seharusnya steril dari segala bentuk eksploitasi komersial.
“Jangan biarkan nyawa rakyat menjadi tumbal dari kerakusan para pemodal tambang. Jika dalam satu minggu ke depan tidak ada perkembangan dan transparansi dari penyelidikan Polres Pohuwato, maka SPAN akan turun ke jalan dalam aksi demonstrasi terbuka,” ancam Usman.
Ia juga mengingatkan bahwa keberadaan excavator dan operasi pertambangan di kawasan konservasi bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan kejahatan lingkungan serius yang harus dijawab dengan penegakan hukum, bukan diam dan kompromi.
SPAN menegaskan bahwa kasus ini adalah ujian serius bagi integritas penegakan hukum di Pohuwato. Jika aparat hukum gagal menindak pelaku tambang ilegal di kawasan konservasi meski sudah memakan korban jiwa, maka publik patut mempertanyakan independensi dan keberpihakan kepolisian terhadap rakyat dan lingkungan.
“Kawasan Cagar Alam bukan ruang bisnis. Apalagi bisnis yang merenggut nyawa. Jika negara tidak hadir, maka rakyat harus bersuara lebih keras. SPAN tidak akan tinggal diam.”
Laporan resmi telah dilayangkan oleh Usman Nggilu pada, Senin (04/08) ke SPKT Polres Pohuwato, disertai tuntutan penghentian total aktivitas tambang, penyitaan alat berat, dan pemanggilan terhadap pemilik lokasi.
Kini, mata publik tertuju pada langkah selanjutnya dari Polres Pohuwato. Apakah akan bergerak menegakkan hukum, atau kembali membiarkan tragedi menjadi rutinitas dalam senyap?
REDAKSI