KONTRADIKSI.ID, Pohuwato. –Kegiatan Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kabupaten Pohuwato kembali menjadi sorotan tajam. Di wilayah kilo 18, Desa Molosipat Utara, Kecamatan Popayato Barat, aktivitas tambang ilegal diduga dijalankan secara masif oleh Yusrin, Kasim, dan kelompoknya dengan menggunakan alat berat jenis ekskavator. Ironisnya, operasi ini tak hanya dibiarkan, tapi justru disebut-sebut dibekingi oleh oknum Polisi Kehutanan dan Kepala Desa Molosipat Utara, yang seharusnya menjadi pelindung hukum dan lingkungan.
Dari informasi yang diterima redaksi pada Kamis (24/07), diketahui bahwa Yusrin, Kasim, dan kelompoknya (Cs) mengoperasikan alat berat jenis ekskavator di lokasi yang tidak memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) resmi. Sumber internal di lapangan mengungkapkan bahwa praktik ini bukan hanya diketahui, tapi juga dilindungi oleh sejumlah pihak berwenang.
“Kegiatan itu tidak tersentuh hukum karena ada yang membekingi. Oknum Polisi Kehutanan dan Kepala Desa sendiri yang ikut main. Setorannya, menurut info yang kuat, juga rutin mengalir ke Polsek Popayato Barat,” ujar narasumber yang enggan disebutkan namanya karena alasan keamanan.
Dengan keterlibatan alat berat jenis ekskavator, aktivitas PETI ini secara jelas menunjukkan bahwa operasi tersebut bukanlah tambang rakyat skala kecil, melainkan kegiatan ilegal skala industri yang mengabaikan aspek legalitas, lingkungan, dan tanggung jawab sosial.
Yang lebih memprihatinkan, praktik ilegal ini diduga berlangsung dengan dukungan langsung dari aparat negara, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam penegakan hukum dan perlindungan lingkungan hidup.
Kegiatan ini secara nyata bertentangan dengan berbagai regulasi nasional, antara lain:
1. Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 (Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara)
Pasal 158:
“Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin resmi (IUP/IUPK/IPR) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah).”
2. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (jo. UU Cipta Kerja)
Pasal 50 ayat (3) huruf g:
“Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penambangan dalam kawasan hutan tanpa izin dari Menteri.”
Pasal 78 ayat (6):
“Pelanggaran terhadap larangan ini dikenai pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah).”
3. Dugaan Korupsi atau Gratifikasi
UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pasal 12 huruf e:
“Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji untuk melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya, dipidana paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun.”
4. Pelanggaran Etik oleh Anggota Polri dan Aparatur Negara
Peraturan Kepolisian No. 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri
Melarang keras anggota Polri menerima gratifikasi, memfasilitasi, atau membekingi aktivitas ilegal. Pelanggaran dapat dikenai sanksi etik berat hingga Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH).
5. UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
Pasal 29 huruf e:
“Kepala Desa dilarang menyalahgunakan wewenang, tugas, hak, dan/atau kewajibannya.”
Jika terbukti, kepala desa dapat diberhentikan serta diproses secara pidana.
PETI di Molosipat Utara ini bukan hanya merampas hak negara atas sumber daya alam, tetapi juga menciptakan krisis ekologi dan sosial. Hutan rusak, aliran sungai tercemar, dan masyarakat lokal tidak mendapatkan manfaat sama sekali—sebaliknya, mereka justru menjadi korban dari pembiaran sistemik oleh aparatur.
Lebih jauh, dugaan keterlibatan oknum aparat negara dalam kegiatan ilegal ini adalah bentuk nyata dari kejahatan jabatan, yang mencoreng integritas institusi serta menghambat cita-cita reformasi birokrasi dan supremasi hukum.
Publik menuntut langkah tegas dari:
Kapolres Pohuwato, untuk menyelidiki dugaan keterlibatan Polsek Popayato Barat;
Dinas Kehutanan Provinsi Gorontalo, untuk menindak oknum Polisi Kehutanan;
Inspektorat Daerah dan Dinas PMD, untuk memeriksa dan memberikan sanksi terhadap Kepala Desa Molosipat Utara;
Gakkum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), untuk menurunkan tim penegakan hukum lingkungan.
“Jika negara tidak mampu membersihkan internal aparaturnya sendiri, maka penegakan hukum hanya menjadi retorika, bukan realita,” kata salah satu tokoh masyarakat yang mengamati langsung aktivitas tambang tersebut.
KABARungkaptuntas.id berkomitmen terus melakukan investigasi dan verifikasi mendalam terhadap dugaan keterlibatan berbagai pihak dalam kasus ini. Hak jawab terbuka bagi pihak Polsek Popayato Barat, Kepala Desa Molosipat Utara, dan instansi kehutanan yang disebutkan dalam laporan ini.
Untuk publik yang peduli lingkungan dan supremasi hukum, inilah saatnya menolak pembiaran. PETI bukan sekadar pelanggaran izin, melainkan penghancuran masa depan bersama jika tak segera dihentikan.
TimRED