KONTRADIKSI.ID, Pohuwato — Fakta baru kembali menyeruak dalam perkara penyalahgunaan pupuk bersubsidi di Kecamatan Popayato. Dari hasil penelusuran dan pengumpulan bukti, terungkap tangkapan layar (screenshot) percakapan antara FW, seorang pendeta yang menjadi terdakwa, dan oknum Kapolsek berinisial LO, Kamis (14/08).
Dari isi percakapan tersebut, terindikasi kuat adanya skenario terstruktur yang didesain bersama oleh FW dan LO untuk mengatur jalannya proses, baik dalam distribusi maupun pengamanan aktivitas ilegal tersebut. Percakapan itu menunjukkan adanya koordinasi yang bukan saja bersifat operasional, namun juga mengandung unsur perlindungan dan pengaruh terhadap pihak-pihak yang terlibat.
Salah satu pihak yang terseret dalam lingkaran ini adalah NW, pemilik UD Jofael. Berdasarkan informasi yang diperoleh, NW awalnya berada pada posisi enggan untuk terlibat. Namun, karena FW dan NW memiliki kedekatan secara agama, FW memanfaatkan hubungan tersebut untuk membangun rasa sungkan dan loyalitas personal. Faktor kedekatan ini diperparah oleh masuknya oknum Kapolsek dalam lingkaran komunikasi, sehingga NW merasa terpaksa mengikuti skema yang telah diatur.
Ketua Serikat Petani dan Nelayan (SPAN), Usman Nggilu, menegaskan bahwa bukti screenshot ini bukanlah temuan baru, melainkan data yang sejak awal telah disampaikan oleh pihaknya kepada penyidik dan Jaksa Penuntut Umum.
“Bukti-bukti ini pernah kami serahkan, namun faktanya tidak dibawa ke persidangan. Ada kesan bahwa peran oknum Kapolsek dan pihak lainnya sengaja disembunyikan. Padahal, dua oknum aparat tersebut sudah dijatuhi sanksi etik oleh Propam Polda Gorontalo. Kalau penegakan hukumnya profesional, tentu saja peran mereka akan diungkap di pengadilan, bukan dihilangkan,” tegas Usman.
Menurutnya, pola ini adalah bentuk abuse of authority yang serius karena melibatkan dua pilar moral dan hukum: tokoh agama dan aparat penegak hukum.
“Kalau bukti ini diungkap, jelas akan membuka jalan untuk penyidikan baru. Kami tidak akan diam. SPAN bersama LSM LABRAK akan terus mempresure Polres Pohuwato dan Kejaksaan Negeri Marisa sampai fakta ini dibuka. Ini bukan hanya soal pupuk, ini soal keadilan dan integritas hukum,” pungkasnya.
Fenomena ini mencerminkan bagaimana kombinasi otoritas agama dan kekuasaan formal dapat menciptakan zona aman bagi praktik ilegal. Bila bukti percakapan ini dihadirkan di persidangan, implikasi hukumnya akan signifikan—mulai dari Pasal 55 KUHP tentang turut serta melakukan tindak pidana, Pasal 52 KUHP tentang pemberatan hukuman bagi pejabat, hingga Pasal 107 UU No. 7/2014 tentang Perdagangan.
Kasus ini bukan sekadar pelanggaran administratif dalam distribusi pupuk. Ia adalah potret sindrom impunitas, di mana mereka yang semestinya menjaga hukum dan moral justru berkolaborasi dalam melanggarnya.
TimRedaksi